Literasi Sharenting: Menjaga Jejak Digital Anak di Era Media Sosial

Perkembangan teknologi digital dan media sosial yang pesat telah membawa perubahan signifikan dalam cara manusia berinteraksi dan berbagi informasi. Di tengah arus komunikasi yang serba cepat dan terhubung, muncul satu fenomena baru yang menjadi perhatian serius, khususnya dalam konteks keluarga dan pengasuhan anak, yaitu sharenting. Hal ini disampaikan oleh Nur Amala Saputri, S.I.Kom., M.A., Dosen sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, pada Selasa (15/7) di Kampus Terpadu UWM.

Dalam paparannya, Amala menjelaskan bahwa sharenting merupakan istilah yang terbentuk dari penggabungan kata share (berbagi) dan parenting (pengasuhan), yang merujuk pada praktik orang tua membagikan konten digital mengenai anak-anak mereka di media sosial. Konten ini bisa berupa foto, video, cerita, atau informasi pribadi anak, bahkan sejak mereka baru lahir.

"Sharenting memang lahir dari niat baik, umumnya karena orang tua ingin membagikan momen kebahagiaan dan kebanggaan terhadap anak mereka. Namun, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa tindakan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang, terutama dalam hal privasi dan jejak digital anak," ujar Amala.

Ia menekankan pentingnya literasi sharenting, yaitu kemampuan orang tua untuk secara kritis dan bijak memahami dampak dari membagikan kehidupan anak di ranah publik digital. Literasi ini, kata Amala, mencakup lebih dari sekadar keterampilan teknis dalam mengunggah konten, tetapi menyangkut pemahaman akan hak anak atas privasinya, potensi risiko penyalahgunaan informasi, serta dampak psikologis dan sosial yang mungkin ditimbulkan di masa depan.

“Seringkali orang tua tidak menyadari bahwa foto atau video lucu anak mereka bisa saja disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab, bahkan menjadi bahan eksploitasi digital. Selain itu, ketika anak tumbuh dewasa, mereka mungkin merasa tidak nyaman atau terganggu dengan dokumentasi masa kecil mereka yang tersebar luas di internet tanpa persetujuan,” jelasnya.

Lebih jauh, Amala menyoroti bahwa semua unggahan di media sosial berpotensi membentuk jejak digital permanen bagi anak. Sekalipun unggahan telah dihapus, data tersebut bisa saja sudah disimpan, diunduh, atau tersebar di platform lain. Hal ini, menurutnya, dapat berdampak serius terhadap masa depan anak, baik dalam konteks kehidupan sosial, pencarian kerja, pendidikan, bahkan reputasi digital secara umum.

"Jejak digital itu seperti arsip yang tak kasatmata namun terus berkembang. Kita tidak tahu siapa saja yang telah melihat, menyimpan, atau menyebarkan foto-foto anak kita. Di masa depan, ketika anak mulai memasuki dunia profesional, unggahan tersebut bisa saja muncul kembali dan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan," terang Amala.

Dalam konteks inilah, literasi sharenting menjadi sangat penting untuk terus dikembangkan, baik melalui pendidikan formal, penyuluhan masyarakat, maupun kampanye kesadaran digital yang berkelanjutan. Orang tua perlu diajak untuk selalu berpikir ke depan sebelum membagikan sesuatu tentang anaknya. Apakah konten tersebut layak untuk publik? Apakah anak suatu hari nanti akan merasa nyaman atau malah dirugikan dengan unggahan tersebut?

Amala juga mengusulkan agar orang tua mulai membiasakan diri untuk meminta persetujuan anak, terutama ketika anak sudah cukup usia untuk memahami konteks sosial media. Hal ini menjadi bagian dari pendidikan nilai dan penghormatan terhadap privasi sejak dini.

Menutup pemaparannya, Amala mengajak masyarakat, khususnya para orang tua, untuk menjadikan media sosial sebagai alat yang bermanfaat dan bertanggung jawab dalam mendukung tumbuh kembang anak, bukan sebagai panggung publik untuk memamerkan kehidupan pribadi anak tanpa pertimbangan matang. “Literasi sharenting bukan berarti melarang orang tua berbagi kebahagiaan. Namun, ini soal bagaimana berbagi dengan bijak, menghargai hak anak, dan memikirkan masa depan mereka di era digital yang serba terbuka ini,” pungkasnya.

Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya literasi sharenting, diharapkan masyarakat Indonesia dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, aman, dan menghormati hak-hak anak sebagai individu yang merdeka dan berhak menentukan representasi dirinya sendiri.


BAGIKAN