Waspada! Indonesia Jadi Negara Paling Rentan Penipuan Kerja Luar Negeri di Asia Pasifik

Indonesia kini dinilai sebagai salah satu negara paling rentan terhadap penipuan lowongan kerja (loker) luar negeri di kawasan Asia Pasifik. Kerentanan ini tidak hanya dipicu oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh rendahnya literasi pendidikan serta kerumitan birokrasi dalam pengurusan dokumen keberangkatan tenaga kerja.

Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sekaligus pakar Politik Luar Negeri Indonesia, Migrasi, dan Asia Tenggara, Ali Maksum, Ph.D., dalam wawancara daring pada Kamis (27/11).

Menurut Ali, terdapat dua faktor utama yang membuat masyarakat Indonesia mudah terjebak tawaran kerja fiktif, yakni push factor dan pull factor. Push factor hadir ketika kondisi ekonomi dalam negeri tidak memberikan cukup peluang, sementara pull factor menguat karena bekerja di luar negeri dianggap menjanjikan gaji lebih tinggi dan kesempatan hidup yang lebih baik.

“Bekerja di luar negeri sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Banyak yang melihatnya sebagai peluang besar, meskipun risikonya juga tinggi, termasuk penipuan lowongan kerja,” jelas Ali.

Ia menambahkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya literasi digital membuat masyarakat mudah tergiur informasi tanpa melakukan verifikasi. Ketika kemampuan literasi tidak memadai, masyarakat cenderung menerima informasi apa adanya dan menangkap peluang tanpa menelusuri sumbernya terlebih dahulu.

Padahal, pemerintah telah menyediakan jalur resmi seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Ketenagakerjaan, serta lembaga penyalur tenaga kerja swasta yang berizin. Namun, jalur resmi tersebut sering kali dianggap rumit, lambat, dan penuh proses birokrasi.

Situasi inilah yang membuat banyak calon pekerja memilih jalan pintas, bahkan mengandalkan jasa calo untuk mengurus paspor hingga keberangkatan, yang tanpa disadari justru membawa mereka masuk dalam jaringan perdagangan manusia.

“Mereka takut mengurus dokumen sendiri. Urus paspor saja memakai calo. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengambil jalan pintas, dan itu yang membuka pintu human trafficking,” tegas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UMY ini lagi.

Ia menjelaskan bahwa kelompok paling rentan terjebak lowongan kerja palsu adalah masyarakat dari ekonomi menengah ke bawah. Mereka cenderung cepat merespons tawaran pekerjaan, terutama jika disertai skema pembayaran seperti kursus bahasa atau biaya administrasi.

“Hampir semua lowongan seperti itu berbayar, dan dianggap wajar. Padahal ini sudah menjadi budaya yang salah dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia,” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan ini, Ali menilai pemerintah harus memperkuat aspek hukum sekaligus memperbaiki akses dan infrastruktur layanan tenaga kerja migran agar lebih mudah dijangkau masyarakat. Di sisi lain, edukasi publik harus digencarkan, baik melalui media digital maupun komunitas akar rumput, agar masyarakat memahami jalur keberangkatan resmi dan aman.

“Regulasi penting, tetapi pengawasan dan penegakan hukum harus diperkuat. Pelaku penipuan harus ditindak tegas. Apalagi media sosial kini tidak terkontrol. Karena itu, literasi dan publikasi harus ditingkatkan supaya masyarakat tahu bahwa jalur resmi adalah satu-satunya jalur yang aman,” tutup Ali. (Jeed)


BAGIKAN