Oleh: Asma Karim, S.H., M.H., Dosen Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
Tanggal 10 November 1945 merupakan salah satu momentum penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, yang saat itu baru beberapa bulan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Namun, proklamasi kemerdekaan tersebut ternyata belum menjadi jaminan bagi bangsa Indonesia untuk terbebas sepenuhnya dari ancaman penjajahan.
Setelah kekalahan Jepang, tentara Sekutu (Inggris) menganggap diri mereka berhak mengambil alih wilayah bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia. Dengan dalih melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, pasukan Sekutu kemudian memasuki wilayah Indonesia. Namun, sebelum kedatangannya, Sekutu telah melakukan konspirasi dengan pihak Belanda melalui Civil Affairs Agreement, yang pada intinya bertujuan memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Kedatangan Sekutu tersebut diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Administrasi Sipil Hindia Belanda.
Upaya Sekutu dan NICA yang tidak menghormati kemerdekaan Indonesia memicu perlawanan sengit dari rakyat Indonesia. Di bawah pimpinan Bung Tomo, semangat juang para pemuda terus dikobarkan hingga akhirnya Indonesia berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan NICA dari Surabaya serta mempertahankan kedaulatan bangsa. Peristiwa heroik ini menelan banyak korban jiwa dari kalangan pemuda Indonesia yang gugur sebagai pahlawan. Sejarah pertempuran 10 November 1945 kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional Republik Indonesia, yang diperingati setiap tahun untuk mengenang, menghargai, dan menghormati jasa para pahlawan kusuma bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Memaknai Hari Pahlawan di era Artificial Intelligence (AI), khususnya dalam dunia pendidikan, bukan lagi berbicara tentang perang melawan penjajahan fisik, melainkan tentang perjuangan menghadapi hegemoni teknologi dengan internet sebagai senjatanya. AI ibarat pedang bermata dua—di satu sisi memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan umat manusia, tetapi di sisi lain membawa berbagai risiko negatif di berbagai bidang, termasuk dunia akademik.
Dalam konteks pendidikan tinggi, tantangan AI dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, AI dan digitalisasi layanan akademik. Kehadiran AI memberikan kemudahan luar biasa dalam berbagai layanan pendidikan, mulai dari administrasi akademik, keuangan, hingga proses pembelajaran. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak negatif berupa menurunnya minat literasi dan melemahnya kemampuan berpikir kritis di kalangan civitas akademika. Budaya serba instan yang dibentuk oleh AI berpotensi menggeser nilai-nilai fundamental dunia akademik yang menuntut ketekunan, refleksi, dan analisis mendalam.
Kedua, AI dan penurunan integritas akademik. Kemudahan akses informasi tanpa batas melalui AI sering kali mengaburkan nilai tanggung jawab dan kejujuran ilmiah. Fenomena copy-paste serta plagiarisme manipulatif menjadi semakin marak dan sulit dikendalikan. Tindakan-tindakan tersebut jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual serta mencederai etika akademik.
Oleh karena itu, kehadiran AI tidak seharusnya melemahkan, mengaburkan, atau melunturkan nilai-nilai kepahlawanan dalam dunia pendidikan. AI hendaknya tidak dijadikan alat untuk melakukan kecurangan akademik, melainkan digunakan sebagai sarana pendukung pembelajaran yang tetap berlandaskan etika, moralitas, dan kejujuran ilmiah. Civitas akademika perlu menempatkan AI sebagai tools untuk memperkaya wawasan dan memperkuat kemampuan berpikir kritis, bukan sebagai jalan pintas untuk memperoleh hasil instan.
Selamat Hari Pahlawan Nasional 10 November 2025. Semoga semangat kepahlawanan terus hidup dalam dunia pendidikan, membentuk insan akademis yang berintegritas, berpikir kritis, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tanggung jawab ilmiah.