Duka kembali menyelimuti masyarakat Indonesia setelah banjir besar menerjang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa waktu terakhir. Lebih dari 600 korban jiwa dilaporkan, ribuan warga terpaksa mengungsi, infrastruktur mengalami kerusakan parah, dan aktivitas sosial ekonomi lumpuh. Di balik tingginya curah hujan, rangkaian bencana hidrometeorologi ini dinilai bukan semata-mata fenomena alam.
Menurut dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jazaul Ikhsan, S.T., M.T., Ph.D., IPM., banjir yang terjadi hampir serentak ini merupakan hasil kombinasi antara cuaca ekstrem dan campur tangan manusia melalui tata ruang yang tidak adaptif.
“Curah hujan tinggi memang menjadi pemicu awal, tetapi kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), sistem drainase yang tidak memadai, serta alih fungsi lahan memperparah dampaknya,” jelasnya saat diwawancarai secara daring pada Selasa (2/12).
Ikhsan menyebut beberapa indikator teknis menunjukkan bahwa infrastruktur pengendali banjir tidak lagi relevan dengan kondisi iklim saat ini. Banyak sistem drainase memiliki kapasitas aliran yang jauh lebih kecil dibandingkan curah hujan aktual. Sedimentasi, penumpukan sampah, serta desain infrastruktur yang masih mengacu pada data historis membuat air meluap dan menggenangi permukiman.
Selain faktor teknis, kerusakan lingkungan menjadi variabel paling mengkhawatirkan. Konversi hutan menjadi permukiman dan perkebunan menyebabkan hilangnya area resapan air alami.
“Penebangan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya aliran permukaan meningkat cepat menuju hilir dan memicu banjir serta longsor,” tegasnya.
Jika pola ini terus berulang setiap musim hujan, dampaknya diprediksi semakin serius. Secara ekologis, banjir berulang dapat merusak ekosistem, menurunkan kualitas tanah, serta mencemari air sungai maupun tanah akibat limpasan limbah dan bahan kimia.
Dari sisi sosial, bencana yang terjadi terus-menerus dapat menimbulkan migrasi penduduk, trauma psikologis, hingga ketegangan sosial akibat perebutan sumber daya pascabencana. Sedangkan secara ekonomi, kerugian diperkirakan meningkat tajam karena kerusakan infrastruktur dan kebutuhan biaya pemulihan yang semakin besar.
“Ketika banjir menjadi siklus tahunan, pembangunan akan terhambat dan kemiskinan semakin mengakar,” ujarnya.
Ikhsan menegaskan bahwa rentetan banjir di Sumatera merupakan sinyal alarm keras perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tata ruang, sekaligus adaptasi desain infrastruktur agar selaras dengan perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi. (Jeed)