Perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang kian pesat telah menciptakan disrupsi besar, mengancam ribuan jenis bisnis dan pekerjaan. Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus dosen Teknik Informatika, Ir. Slamet Riyadi, S.T., M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dihindari, melainkan harus dihadapi dengan strategi yang tepat.
Dalam wawancara di ruang Rektorat UMY, Slamet menjelaskan bahwa AI diciptakan untuk meningkatkan efisiensi operasional. Salah satu contoh nyata adalah pergeseran peran customer service.
“Dulu butuh 100 orang customer service , sekarang mungkin hanya 30 karena 70 sisanya sudah bisa digantikan chatbot untuk pertanyaan-pertanyaan standar,” ujarnya, Senin (29/9).
Menurutnya, pekerjaan yang bersifat rutin, repetitif, dan berulang adalah yang paling rentan digantikan AI, seperti kasir maupun pencatatan akuntansi dasar. Namun, Slamet menekankan bahwa peran manusia tetap tak tergantikan pada level yang lebih tinggi.
“AI bisa memberikan diagnosis atau saran. Tapi kalau sudah menyangkut aspek emosional, banyak variabel yang harus ditangani, dan itu tetap ranah manusia, misalnya dokter, psikolog, atau auditor,” jelasnya.
Di bidang kesehatan, AI bisa menjadi decision support dengan akurasi tinggi, tetapi keputusan akhir dan empati kepada pasien tetap milik dokter. Begitu pula di akuntansi, AI bisa mengolah neraca, tetapi audit dan strategi efisiensi tetap membutuhkan sentuhan manusia.
Slamet yang juga menjabat Wakil Rektor Bidang Mutu, Reputasi, dan Kemitraan Global UMY menekankan bahwa disrupsi AI menuntut perguruan tinggi segera menyesuaikan kurikulum. “Prodi-prodi harus betul-betul realize kondisi ini dan me-review kurikulum secara substantif, bukan hanya sekadar menggunakan tools AI,” tegasnya.
UMY sendiri telah mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika AI melalui empat kebijakan utama yang saling melengkapi. Pertama, UMY menetapkan Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU) tentang Kecerdasan Buatan, di mana seluruh mahasiswa dari berbagai program studi diwajibkan mempelajari dasar-dasar AI, mulai dari filosofi hingga penerapannya sesuai bidang ilmu masing-masing.
Kedua, UMY tengah mengajukan pembukaan Program Studi S1 Kecerdasan Buatan sebagai bentuk pendidikan yang lebih spesifik dan mendalam di bidang ini. Selain itu, dosen-dosen UMY juga aktif mengembangkan riset dan pengabdian masyarakat berbasis AI, dengan fokus pada penerapan nyata untuk memecahkan berbagai persoalan, mulai dari pertanian, kedokteran, ekonomi, seperti sentiment analysis, hingga inovasi presensi berbasis pengenalan wajah di sekolah.
Tidak hanya itu, UMY juga telah mengadopsi regulasi etika penggunaan AI di lingkungan kampus, menyesuaikan dengan kebijakan kementerian, agar perkembangan teknologi ini tetap selaras dengan nilai-nilai akademik dan prinsip tanggung jawab sosial.
Slamet menegaskan, AI seharusnya tidak dipandang semata sebagai ancaman, melainkan peluang untuk meningkatkan kapasitas manusia. “AI tidak bisa dihindari. Manusia harus memposisikan diri sebagai pihak yang mengendalikan atau setidaknya menggunakan AI secara optimal, bukan sebaliknya. Kita harus menjadi yang create atau yang mampu memanfaatkannya,” pungkasnya. (Jeed)