Arus investasi asing dalam infrastruktur digital Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada sektor pusat data, komputasi awan, dan kecerdasan buatan. Di balik peluang besar tersebut, muncul kekhawatiran terkait kedaulatan data, ketergantungan teknologi, serta risiko kompetisi yang dapat melemahkan pelaku lokal.
Dosen Prodi Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Romi Bhakti Hartarto, M.Ec., Ph.D., menegaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam membangun ekonomi digital tidak hanya bergantung pada besarnya nilai investasi yang masuk, tetapi juga pada kemampuan negara menjaga kendali atas infrastruktur digital strategis.
Romi menjelaskan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap investasi global memang tidak dapat dihindari, mengingat biaya pembangunan pusat data dan infrastruktur digital sangat tinggi dan tidak mungkin dipenuhi hanya oleh anggaran domestik.
“Ekonomi digital itu membutuhkan ‘rumah’, yaitu data center. Kita tidak punya cukup modal dan teknologi untuk membangun dalam jumlah yang memadai, apalagi dalam waktu cepat,” ujarnya saat diwawancarai pada Kamis (4/12).
Ia mencontohkan investasi Microsoft senilai sekitar Rp27 triliun pada 2024 yang berfokus pada pengembangan pusat data dan kecerdasan buatan. Menurutnya, investasi tersebut bukan hanya membawa modal, tetapi juga transfer teknologi sekaligus memastikan sebagian proses pengolahan data tetap berada di Indonesia.
Namun Romi mengingatkan bahwa ketergantungan berlebih pada perusahaan global dapat menimbulkan risiko jangka panjang, terutama bagi daya saing usaha lokal. Pelaku domestik akan kesulitan bersaing karena tingginya biaya pembangunan data center, jaringan cloud, dan infrastruktur AI yang tidak mudah dijangkau oleh startup Indonesia.
“Tanpa strategi nasional yang kuat, pelaku lokal bisa stagnan atau bahkan tersingkir karena tidak mampu menandingi keunggulan modal dan teknologi yang dimiliki perusahaan asing,” tegasnya.
Karena itu, Romi menilai pemerintah harus menempatkan regulasi sebagai instrumen penjaga kedaulatan digital. Prinsip level playing field harus tetap dijaga agar keterbukaan investasi tidak mengorbankan kepentingan nasional. Ia menilai penerapan aturan social commerce yang membatasi praktik predatory pricing merupakan langkah korektif yang tepat untuk melindungi UMKM.
“Regulasi tidak boleh berlebihan sampai menghambat inovasi, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar hingga mematikan pelaku lokal. Negara harus tegas terhadap praktik yang merugikan,” jelasnya.
Romi juga mencatat bahwa kontribusi fiskal dari ekonomi digital semakin signifikan, dengan penerimaan pajak digital mencapai sekitar Rp32 triliun pada 2024. Namun, manfaat fiskal tersebut belum cukup untuk memastikan kemandirian digital Indonesia di masa depan.
Ia menekankan perlunya penguatan sumber daya manusia di bidang teknologi agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi mampu menjadi produsen dan pengembang teknologi digital.
“Pemerintah perlu memperbesar investasi pada beasiswa dan vokasi digital, terutama di pendidikan menengah dan tinggi. Jika ada political will yang kuat dan dukungan anggaran yang cukup, Indonesia bukan hanya akan menjadi pasar digital raksasa, tapi bisa tampil sebagai pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara,” pungkasnya. (ID)