Kasus Alvaro Kiano, bocah 6 tahun yang menjadi korban kekerasan ayah tirinya, dinilai bukan sekadar tragedi individual melainkan cerminan rapuhnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Pakar Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Gender Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ane Permatasari, S.IP., MA., menyatakan negara gagal hadir dalam seluruh siklus perlindungan anak, mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga penanganan kasus dan penegakan hukum.
“Kasus Alvaro ini bukan fenomena tunggal. Ini cermin besar betapa lemahnya sistem perlindungan anak kita. Lebih dari itu, respons institusi sangat lambat, seolah menunggu tragedi membesar dulu baru bergerak,” ungkap Ane saat memberikan keterangan secara daring, Kamis (4/12).
Menurutnya, pola seperti ini terus berulang dari tahun ke tahun. Banyak institusi baru bertindak setelah kasus viral atau mendapat tekanan publik, bukan karena mekanisme perlindungan dini yang bekerja. Padahal perlindungan anak idealnya berorientasi pada pencegahan, bukan pada pendekatan reaktif seperti yang terjadi saat ini.
Ane menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kerangka hukum yang sangat lengkap, mulai dari UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Namun kekuatan regulasi tersebut tidak tampak dalam implementasi. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya koordinasi antar lembaga yang seharusnya terintegrasi dalam satu ekosistem perlindungan.
“Hukum kita rapi di atas kertas, tetapi implementasinya terfragmentasi. Setiap lembaga berjalan sendiri-sendiri. Ketika sekolah menemukan tanda kekerasan, tidak ada jalur pasti untuk meneruskannya ke puskesmas atau dinas sosial. RT atau warga pun bingung harus melapor ke mana, bahkan takut dianggap mencampuri urusan keluarga,” jelas dosen Ilmu Pemerintahan UMY tersebut.
Fragmentasi ini, menurut Ane, merupakan akar persoalan yang jarang dibahas. Dalam situasi ideal, perlindungan anak melibatkan keluarga, sekolah, puskesmas, RT/RW, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, hingga kepolisian. Namun tanpa sistem yang menghubungkan mereka, tanda kekerasan yang muncul di satu titik kerap berhenti di situ saja dan tidak berlanjut pada intervensi yang seharusnya.
Selain lemahnya koordinasi, Ane juga menyoroti budaya birokrasi yang membuat penyelamatan anak sering tidak menjadi prioritas. Banyak aparat, katanya, masih terjebak prosedur administratif yang berbelit, padahal keselamatan anak seharusnya ditempatkan di atas regulasi teknis.
“Dalam banyak kasus, aparat saling menunggu. Ada yang menunggu bukti lengkap, ada yang menunggu laporan resmi. Padahal jika nyawa anak yang dipertaruhkan, prosedur itu harus fleksibel. Kita tidak sedang memproses barang bukti, kita sedang menyelamatkan manusia,” tegasnya.
Untuk memperbaiki kondisi ini, Ane mendorong lahirnya sistem pengawasan terpadu dari level paling kecil. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara keluarga, sekolah, fasilitas kesehatan, dinas sosial, dan komunitas lokal agar dapat bekerja sebagai jaringan yang saling menguatkan.
“Dalam sistem yang ideal, data risiko keluarga dibagikan antar lembaga, sekolah melakukan skrining rutin, puskesmas memantau kondisi anak, dan pekerja sosial desa aktif mendatangi keluarga rawan tanpa menunggu laporan. Pengawasan harus proaktif, bukan pasif,” pungkasnya. (NF)