UMY Ingatkan Pemerintah: RUU KKS Berisiko Tumpang Tindih dan Mengancam Kebebasan Digital

Pemerintah dan DPR kini tengah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Namun, langkah tersebut mendapat catatan kritis dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM. Menurutnya, pembentukan RUU ini belum memiliki urgensi yang kuat karena sejumlah aturan sektoral, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebenarnya sudah cukup mengatur isu-isu terkait keamanan digital.

Lebih lanjut, King menilai bahwa RUU KKS masih memerlukan kajian mendalam agar tidak tumpang tindih dengan peraturan lain yang sudah ada. Ia menekankan, regulasi baru seharusnya berfokus pada penguatan sistem keamanan siber nasional, bukan pada penambahan pasal-pasal pidana baru.

“RUU Keamanan dan Ketahanan Siber ini pada dasarnya menyangkut dua hal besar, yaitu keamanan siber dan kejahatan siber. Maka penting untuk memisahkan keduanya secara jelas. Jika konteksnya adalah kebijakan keamanan siber, maka fokusnya seharusnya pada proteksi dan penguatan sistem, bukan pada unsur pidananya,” jelasnya dalam sesi daring, Senin (10/11).

King juga menyoroti perlunya keterlibatan publik secara luas dalam proses pembahasan RUU KKS. Menurutnya, partisipasi masyarakat menjadi faktor penting agar undang-undang tersebut tidak berpotensi mengekang kebebasan digital.

“RUU ini harus membuka ruang partisipasi publik, supaya suara dan aspirasi masyarakat dapat didengar. Jangan sampai undang-undang ini lahir tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan publik,” ujarnya.

Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran King adalah rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik dalam penegakan hukum terkait keamanan siber. Ia menilai, langkah tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan bahkan melanggar prinsip-prinsip hukum acara pidana.

“Kalau TNI diberi kewenangan sebagai penyidik, maka harus ada batasan yang tegas. Jangan sampai tumpang tindih dengan fungsi penyidik yang sudah diatur dalam KUHAP atau undang-undang lain. Penyidikan harus tetap berada dalam koridor hukum yang jelas,” tegasnya.

King menambahkan, perluasan kewenangan penyidikan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai justru dapat membuka ruang kriminalisasi terhadap masyarakat.

“Ketika penyidik diberi kewenangan luas untuk melakukan pelacakan atau pengawasan, masyarakat menjadi rentan terhadap jeratan hukum. Ini bisa berdampak pada kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia,” jelasnya.

Oleh karena itu, King mengingatkan agar arah kebijakan RUU KKS tidak hanya berorientasi pada kepentingan negara, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat sipil.

“Pendekatannya harus menempatkan kepentingan publik sebagai pusat. Prinsip hak asasi manusia harus menjadi acuan utama. Jadi, bukan pendekatan yang state-centric, melainkan civil-centric,” pungkasnya. (NF)


BAGIKAN