Kegagalan negara dalam mengelola lingkungan kembali mendapat sorotan tajam usai rangkaian banjir dan longsor melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berbasis riset ilmiah dianggap turut memperparah kerusakan ekosistem, sehingga memicu bencana yang berdampak jangka panjang bagi masyarakat lintas generasi.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Iwan Satriawan, MCL. Menurutnya, bencana yang terus berulang menunjukkan absennya prinsip kehati-hatian dalam penyusunan kebijakan, khususnya terkait pengelolaan hutan dan tata ruang. Ia menekankan bahwa pemerintah berulang kali mengabaikan temuan riset yang telah lama memperingatkan risiko ekologis akibat eksploitasi berlebihan.
“Banyak pakar sudah menyampaikan bahwa jika keseimbangan ekosistem tidak dijaga dan penebangan hutan terus dibiarkan, maka tinggal menunggu waktu bencana itu terjadi. Namun kebijakan kita bukan berbasis riset, melainkan berbasis kepentingan jangka pendek,” ujar Iwan saat ditemui di Fakultas Hukum UMY, Rabu (10/12).
Iwan menegaskan bahwa berbagai laporan ilmiah mengenai kondisi hutan tropis, kerentanan daerah aliran sungai, hingga risiko banjir bandang seharusnya menjadi rujukan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Namun pada praktiknya, keputusan di tingkat pusat maupun daerah kerap dipengaruhi kepentingan ekonomi kelompok tertentu, termasuk aktor-aktor bisnis kayu dan eksploitasi lahan.
Ia menyebut hal ini sebagai bukti lemahnya integritas tata kelola dan minimnya kapasitas negara dalam memastikan keberlanjutan lingkungan.
Dekan Fakultas Hukum UMY tersebut juga mengingatkan bahwa kerusakan ekologis tidak dapat dianggap sebagai isu sektoral semata, melainkan ancaman nyata terhadap hak hidup warga negara, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Meskipun konstitusi Indonesia telah mengamanatkan prinsip green constitution, implementasinya dinilai belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan negara.
“Kerusakan lingkungan itu bukan hanya soal pohon ditebang atau lahan dibuka. Itu menyangkut hak kehidupan. Kebijakan yang tidak memperhatikan keberlanjutan berarti mengancam hak hidup generasi hari ini dan generasi mendatang,” ungkapnya.
Lebih jauh, Iwan menyoroti keterkaitan erat antara persoalan lingkungan dengan praktik korupsi, lemahnya pengawasan, dan minimnya transparansi dalam proses perizinan. Ia mengungkapkan bahwa sejumlah kebijakan terkait pertambangan, kehutanan, dan tata ruang masih menyisakan ruang gelap yang rawan disalahgunakan.
“Dalam banyak izin eksploitasi hutan dan pertambangan, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di belakang layar. Ruang gelap ini menunjukkan adanya transaksi dan kepentingan yang tidak sejalan dengan upaya menjaga lingkungan,” paparnya.
Menutup penjelasannya, Iwan menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi keberlanjutan lingkungan dan menjamin keselamatan warganya. Karena itu, kerusakan ekologis harus dipandang sebagai kegagalan tata kelola negara, bukan semata fenomena alam. (ID)