Disrupsi digital yang berkembang semakin cepat dinilai telah memicu krisis pengetahuan sekaligus memperlebar jurang polarisasi di tengah masyarakat. Hal tersebut menjadi perhatian Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Faris Al-Fadhat, M.A., Ph.D., dalam pembukaan Musyawarah Daerah XXII Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY yang digelar di Gedung E8 Djarnawi Hadikusuma UMY, pada Kamis malam (11/12).
Menurut Prof. Faris, masifnya perkembangan teknologi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas literasi masyarakat. Publik, kata dia, kini lebih banyak memberikan reaksi cepat dibandingkan melakukan proses berpikir yang mendalam. Akibatnya, ruang digital menjadi wadah subur bagi lahirnya kesimpulan instan, misinformasi, hingga pertengkaran emosional.
“Kita hidup di era yang sangat disruptif. Informasi beredar sangat cepat, tetapi tidak banyak yang benar-benar kita pahami. Ini menimbulkan krisis pengetahuan. Banyak orang merasa tahu sesuatu hanya karena melihatnya di media sosial, padahal mereka tidak pernah memikirkan atau memverifikasi informasi tersebut,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang Pengembangan Universitas dan AIK UMY itu menambahkan bahwa polarisasi publik bukan lagi sekadar dampak perbedaan pendapat semata, tetapi merupakan konsekuensi dari melemahnya kemampuan masyarakat dalam menilai dan mengolah informasi secara kritis.
“Yang mengkhawatirkan adalah ruang digital yang dipenuhi komentar dangkal, respons instan, dan reaksi emosional. Polarisasi bukan lagi soal ide, tetapi soal identitas, tentang siapa yang kita ikuti dan siapa yang kita tentang. Ini tantangan besar bagi bangsa,” tegasnya.
Ia menilai bahwa tradisi intelektual Muhammadiyah yang berakar pada ijtihad, tajdid, serta keberanian berpikir kritis dapat menjadi jawaban atas tantangan tersebut. Muhammadiyah, menurutnya, mendorong keberanian untuk memetakan ulang cara pandang, termasuk dalam membaca dinamika sosial, teknologi, dan kehidupan publik.
Arah Kebangsaan Dinilai Kian Kabur
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMY, Dr. Agung Danarto, M.Ag., menyoroti arah kebangsaan Indonesia yang dinilainya semakin kabur. Ia menyebut kondisi bangsa saat ini ditandai oleh ketidakhadiran negara dalam berbagai isu krusial, khususnya saat terjadi bencana dan kesulitan yang menimpa masyarakat.
“Bukan hanya karena kebijakan negara, tetapi karena para pelaku yang memengaruhi arah negara juga semakin tidak jelas orientasinya. Kita bisa melihat bagaimana respons negara terhadap bencana di Aceh, Sumatera Barat, atau Sumatera Utara. Dulu, setiap ada bencana, Kementerian Sosial selalu yang paling sibuk,” ungkapnya.
Agung menegaskan bahwa memahami realitas secara objektif adalah langkah awal untuk memperbaiki arah bangsa. Namun, ia menekankan bahwa realitas tersebut harus selalu diimbangi dengan idealitas agar kebijakan tidak kehilangan arah.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun pola pikir kritis sejak mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa tidak boleh hanya terjebak dalam rutinitas administratif seperti percepatan kelulusan, tetapi harus memperluas wawasan, membangun jejaring, dan menumbuhkan kesadaran untuk berkontribusi bagi masyarakat.
“Disrupsi tanpa literasi dan arah kebijakan tanpa idealitas sama-sama berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kebingungan yang lebih dalam,” pungkasnya. (ID)