Pakar UMY: Akses Informasi Publik Bukan Fasilitas, Melainkan Hak Konstitusional

Hak masyarakat atas informasi publik merupakan salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan. Keterbukaan informasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip good governance. Pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Beni Hidayat, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah fondasi tata kelola negara yang demokratis. Karena itu, akses terhadap informasi publik bukan sekadar fasilitas, melainkan hak konstitusional yang wajib diwujudkan melalui kebijakan nyata.

Menurut Beni, dasar hukum mengenai hak atas informasi publik di Indonesia sudah sangat kuat, baik pada tingkat konstitusi maupun undang-undang. Ia menekankan bahwa Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh, menyimpan, dan menyebarluaskan informasi.

“Jaminan tersebut kemudian diturunkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mengatur definisi informasi publik, badan publik, serta batasan-batasannya. Jadi, secara normatif, dasar hukumnya sudah sangat jelas dan kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang,” ujar Beni saat ditemui di Gedung Fakultas Hukum UMY, Jumat (12/12).

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa pemahaman mengenai batasan informasi publik menjadi sangat penting agar tidak terjadi generalisasi. Tidak semua informasi dapat dibuka, terutama informasi yang bersifat privat atau tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan negara. Selain itu, status lembaga yang dimintai informasi juga harus jelas apakah termasuk kategori badan publik atau bukan. Ketidakjelasan ini kerap memicu sengketa informasi di lapangan.

“Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, dikirim, atau diterima oleh badan publik. Badan publik itu mencakup lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, serta lembaga lain yang menjalankan fungsi negara, termasuk organisasi nonpemerintah yang sebagian dananya bersumber dari APBN atau APBD. Artinya, tidak semua institusi bisa serta-merta dimintai informasi publik,” jelasnya.

Dalam praktiknya, sengketa informasi masih sering terjadi antara pemohon informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Padahal, Undang-Undang KIP telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi di tingkat nasional maupun daerah. Namun, proses penyelesaian tersebut kerap memakan waktu lama akibat perbedaan penafsiran mengenai informasi mana yang wajib dibuka dan mana yang dikecualikan.

Menurut Beni, sumber utama persoalan terletak pada Pasal 17 Undang-Undang KIP yang mengatur pengecualian informasi. Rumusan pasal tersebut dinilai terlalu membuka ruang tafsir subjektif, baik di tingkat PPID maupun dalam proses mediasi dan adjudikasi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Pasal 17 itu rumusannya terlalu subjektif. Akibatnya, pemohon merasa informasi yang diminta tidak termasuk kategori yang dikecualikan, sementara PPID berpendapat sebaliknya. Ketidakjelasan inilah yang menjadi akar sengketa informasi selama ini,” tegasnya.

Oleh karena itu, Beni menilai revisi Undang-Undang KIP menjadi kebutuhan mendesak. Selain memperjelas batasan informasi yang dikecualikan, mekanisme penyelesaian sengketa juga perlu disederhanakan agar tidak berbelit-belit. Reformulasi tersebut penting untuk memastikan penyelesaian sengketa informasi berjalan sesuai asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi publik. (NF)


BAGIKAN